YANG BERSALAH ITU FIR’AUN BUKAN KAMI

إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ
Segala puji hanyalah milik Allah  Penguasa alam semesta yang kepada-Nyalah segala putusan diserahkan, yang  tiada kebenaran kecuali bila bersumber dari ajaran-Nya, dan tiada  kebersalahan kecuali bila dinyatakan salah di dalam ajaran-Nya.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan  kepada Rasulullah yang diutus dengan membawa hukum dan ajaran yang  barangsiapa menyelisihinya dan menyimpang darinya, maka dia telah sesat  jalannya. Sungguh tiada kesalahan dan pelanggaran kecuali dalam  pelanggaran terhadap hukum yang dibawanya. Wa ba’du:
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ فِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَجُنُودَهُمَا كَانُوا خَاطِئِينَ
“Sesungguhnya Fir’aun, Haman dan bala tentaranya, mereka itu adalah orang-orang yang bersalah.” (Al Qashash: 8 )
Ayat ini menegaskan bahwa Raja Fir’aun,  para pejabat pembantunya dan aparat keamanannya adalah orang-orang yang  bersalah yang menjadi tersangka dan terdakwa di hadapan hukum Allah  ta’ala. Namun sudah barang tentu mereka tidak mengaku sebagai  orang-orang yang bersalah yang pantas digusur ke meja hijau, karena  mereka adalah rezim yang berkuasa yang mana segala tindakan dan ucapan  mereka adalah sah secara hukum dan benar sesuai undang-undang, sebabnya  adalah bahwa hukum dan undang-undang yang ada adalah buatan mereka  sendiri.
Ketahuilah sesungguhnya Allah ta’ala  telah menyebutkan di antara kesalahan Fir’aun itu adalah karena dia  telah melampaui batas dirinya sebagai makhluk:
اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
“Pergilah kamu (Musa) kepada Fir’aun, karena sesungguhnya dia itu telah melampaui batas,” (An Nazi’at: 17)
dimana dia mengatakan:
أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى
“Akulah tuhan kalian tertinggi”. (An Nazi’at: 24)
juga ucapannya:
مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرِي
“Aku tidak mengetahui ada tuhan bagi kalian selain aku.” (Al Qashash: 38)
Bahkan dengan angkuh mengatakan Nabi Musa ‘alaihissalam:
لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهًا غَيْرِي لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ
“Andai kamu menjadikan tuhan selain aku, sungguh aku benar-benar akan memenjarakan kamu”. (Asy Syu’ara: 29)
Jadi diantara kesalahan Fir’aun ini  adalah bahwa dia mengaku dirinyalah satu-satunya tuhan yang harus  diibadati, dan dia mengancam orang yang menolak ketuhanannya dengan  ancaman penjara. Namun yang menjadi pertanyaan di sini adalah: ketuhanan  macam apakah yang diakui dan diklaim oleh Fir’aun dan bahwa hal itu  adalah hak preogatif muthlak miliknya?
Apakah dia mengklaim penciptaan langit dan bumi?
Dan apakah dia mengklaim  bahwa manfa’at dan madlarrat ada di tangannya?
Dan apakah dia mengklaim pengetahuan terhadap hal-hal yang ghaib?
Pertanyaan-pertanyaan ini semua  jawabannya adalah “TIDAK” berdasarkan penegasan nash-nash Al Qur’an.  Adapun yang pertama, yaitu bahwa Fir’aun tidak mengakui bahwa dirinya  yang menciptakan langit dan bumi, dan justeru sebaliknya dia itu  meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakannya, maka itu adalah  sebagaimana ucapan Nabi Musa ‘alaihissalam kepada Fir’aun:
لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنزَلَ هَؤُلاء إِلاَّ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ بَصَآئِرَ وَإِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا فِرْعَونُ مَثْبُورًا
“Sungguh kamu telah mengetahui,  bahwa tidak ada yang menurunkan (mukjizat-mukjizat) itu kecuali Rabb  yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata, dan  sungguh aku benar-benar menduga kamu akan binasa, wahai Fir’aun.”. (Al Israa: 102)
Dan adapun yang kedua, yaitu bahwa  Fir’aun tidak mengklaim bahwa manfa’at dan madlarrat ada di tangannya,  dimana dia tidak bias menatangkan anfa’at dan tidak bias menolak  madlarrat, maka itu sebagaimana yang Allah ta’ala sebutkan di dalam Al  Qur’an dimana Allah ta’ala menimpakan adzab kepada Fir’aun dan kaumnya  yang tidak bias mereka tolak dan mereka hindari. Allah berfirman:
فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ الطُّوفَانَ وَالْجَرَادَ وَالْقُمَّلَ وَالضَّفَادِعَ وَالدَّمَ آيَاتٍ مُّفَصَّلاَت
“Maka Kami kirimkan kepada mereka  taufan, belalang, kutu, katak dan darah (air minum menjadi darah)  sebagai bukti-bukti yang jelas,” (Al A’raf: 133)
Dan ternyata yang dilakukan Fir’aun dan  pengikutnya yang kafir tatkala adzab itu menimpa mereka adalah meminta  kepada Nabi Musa ‘alaihissalam agar berdoa kepada Allah ta’ala agar  mencabut adzab itu dari mereka, seraya mengatakan:
يَا مُوسَى ادْعُ لَنَا رَبَّكَ بِمَا عَهِدَ عِندَكَ لَئِن كَشَفْتَ عَنَّا الرِّجْزَ لَنُؤْمِنَنَّ لَكَ وَلَنُرْسِلَنَّ مَعَكَ بَنِي إِسْرَآئِيلَ
“Wahai Musa! Mohonkanlah untuk kami  kepada Rabbnu sesuai dengan janji-Nya kepadaimu. Jika engkau dapat  menghilangkan azab ini dari kami, niscaya kami akan beriman kepadamu dan  pasti akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu.” (Al A’raf: 134)
Jadi Fir’aun itu meyakini bahwa manfa’at  dan madlarrat itu hanya di Tangan Allah ta’ala, dan bahkan Fir’aun juga  tidak berani menghadapi mukjizt-mukjizat Nabi Musa ‘alaihissalam di  dalam pertarungan yang menjadi penentuan kecuali dengan mengupah para  tukang sihir untuk menghadapinya, dan itupun setelah Fir’aun meminta  pendapat para pembantunya:
قَالَ الْمَلأُ مِن قَوْمِ فِرْعَوْنَ إِنَّ هَذَا لَسَاحِرٌ عَلِيمٌ، يُرِيدُ أَن يُخْرِجَكُم مِّنْ أَرْضِكُمْ فَمَاذَا تَأْمُرُونَ، قَالُواْ أَرْجِهْ وَأَخَاهُ وَأَرْسِلْ فِي الْمَدَآئِنِ حَاشِرِينَ، يَأْتُوكَ بِكُلِّ سَاحِرٍ عَلِيمٍ، وَجَاء السَّحَرَةُ فِرْعَوْنَ قَالْواْ إِنَّ لَنَا لأَجْرًا إِن كُنَّا نَحْنُ الْغَالِبِينَ، قَالَ نَعَمْ وَإَنَّكُمْ لَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ، قَالُواْ يَا مُوسَى إِمَّا أَن تُلْقِيَ وَإِمَّا أَن نَّكُونَ نَحْنُ الْمُلْقِينَ، قَالَ أَلْقُوْاْ فَلَمَّا أَلْقَوْاْ سَحَرُواْ أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجَاءوا بِسِحْرٍ عَظِيمٍ، وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَلْقِ عَصَاكَ فَإِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُونَ، فَوَقَعَ الْحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ، فَغُلِبُواْ هُنَالِكَ وَانقَلَبُواْ صَاغِرِينَ، وَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ
 “Pemuka-pemuka kaum Fir’aun  berkata: “Orang ini (Musa) benar-benar penyihir yang pandai, yang hendak  mengusir kalian dari negeri kalian”. (Fir’aun berkata): “Maka apa saran  kamu?” (Pemuka-pemuka itu) menjawab: “Tahanlah (untuk sementara) dia  dan saudaranya dan utuslah ke kota-kota beberapa orang untuk  mengumpulkan (para penyihir), agar mereka membawa semua penyihir yang  pandai kepadamu”. Dan para penyihir datang kepada Fir’aun, mereka  berkata: “Apakah kami akan mendapat imbalan jika kami menang?” Dia  (Fir’aun) menjawab: “Ya, bahkan kalian pasti termasuk orang-orang yang  dekat (kepadaku)”. Mereka (para penyihir) berkata: “Wahai Musa! Kamukah  yang akan melemparkan terlebih dahulu, atau kami yang akan melemparkan?”  Dia (Musa) menjawab: “Lemparkanlah (lebih dahulu)!” Maka setelah mereka  melemparkan, mereka menyihir mata orang banyak dan menjadikan orang  banyak itu takut, karena mereka memperlihatkan sihir yang hebat  (mena’jubkan). Dan Kami wahyukan kepada Musa: “Lemparkanlah tongkatmu!”.  Maka ia (tongkat itu) menelan (habis) segala kepalsuan mereka. Maka  terbuktilah kebenaran, dan segala yang mereka kerjakan menjadi sia-sia.  Maka mereka dikalahkan di tempat itu, dan jadilah mereka orang-orang  yang hina. Dan para penyihir itu serta merta menjatuhkan diri dengan  bersujud.” (Al A’raf: 109-120)
Begitulah orang-orang upahan sang tuhan  palsu itu tidak berdaya di hadapan mukjizat Musa ‘alaihissalam, dan  merekapun malah berbalik beriman kepada Musa ‘alaihissalam, dan sang  Fir’aun-pun murka kepada mereka dan membunuh mereka dengan kejam.
Dan adapun perihal bahwa Fir’aun itu  tidak mengetahui yang ghaib, adalah bahwa tatkala dia memiliki  kekhawatiran bahwa kekuasaannya akan hancur oleh pria Bani Israil, maka  dia memerintahkan aparat keamanannya agar membunuhi semua pria Bani  Israil, namun dia malah memelihara dan memungut bayi laki-laki Bani  Israil yang dikemudian hari menjadi penghancur kekuasaannya, yaitu Musa  ‘alaihissalam:
فَالْتَقَطَهُ آلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُونَ لَهُمْ عَدُوًّا وَحَزَنًا
“Maka dia (Musa) dipungut oleh keluarga Fir’aun agar (kelak) dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka,” (Al Qashash: 8 )
Dari ayat-ayat tadi diketahuilah bahwa  Fir’aun meyakini bahwa Allah ta’ala sajalah yang menciptakan langit dan  bumi beserta isinya, Dia sajalah yang mengkabulkan doa dan Dia sajalah  Dzat yang mengetahui yang ghaib.
Jadi kalau demikian, ketuhanan macam  apakah yang Fir’aun sematkan kepada dirinya dan dia tolak dari  selainnya, termasuk Allah ta’ala?
Untuk memahami hal ini, maka simaklah uraian berikut ini:
Allah ta’ala berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
“Hak menentukan hukum hanyalah milik Allah.” (Yusuf: 40)
Ayat ini menjelaskan bahwa wewenang  pembuatan hukum, undang-undang dan putusan hanyalah hak khusus  (preogatif) milik Allah. Ini dikarenakan kewenangan pembuatan hukum itu  adalah berkaitan dengan penciptaan, sebagaimanaFirman-Nya ta’ala:
أَلاَ لَهُ الْخَلْقُ وَالأَمْرُ
“Ingatlah, hanyalah milik-Nyalah penciptaan dan perintah.” (Al A’raf: 54)
Dikarenakan yang menciptakan itu  hanyalah Allah, maka hanya Allah sajalah yang berhak memerintah,  melarang dan menentukan hukum dan aturan. Dan sebagaimana Allah ta’ala  itu tidak menyertakan satu makhluk-pun di dalam penciptaan, maka Dia-pun  tidak mengizinkan dan tidak menyertakan satu makhluk-pun di dalam  kewenangan pembuatan hukum dan undang-undang, sebagaimana Firman-Nya:
وَلَا يُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
“Dan Dia tidak menyertakan seorangpun di dalam hukum-Nya.”(Al Kahfi:26)
Dan bahkan Dia ta’ala melarang  menyertakan atau menyekutukan seorangpun di dalam kewenangan pembuatan  hukum yang merupakan hak khusus Allah ta’ala. Dia ta’ala berfirman:
وَلَا تُشْرِكُ فِي حُكْمِهِ أَحَدًا
“Dan janganlah kamu menyekutukan  seorangpun di dalam hukum-Nya.”(Al Kahfi:26 sebagaimana di dalam qira’ah ibnu ‘Amir yang mutawwatir)
Sebagaimana orang yang meyakini adanya  pencipta selain Allah ta’ala adalah musyrik lagi kafir juga telah  mempertuhankan selain Allah itu, ini dikarenakan hak penciptaan adalah  hak khusus Allah, maka begitu juga orang yang menyandarkan kewenangan  pembuatan hukum dan undang-undang atau sebagiannya kepada selain Allah  adalah musyrik, kafir lagi telah mempertuhankan selain Allah.
Sebagaimana orang yang mengaku bahwa  dirinya telah ikut andil bersama Allah ta’ala di dalam penciptaan adalah  divonis telah mengaku dirinya sebagai tuhan sekutu Allah ta’ala, maka  begitu juga orang yang mengaku bahwa dirinya itu berhak membuat hukum  dan undang-undang di samping Allah, adalah telah mengklaim bahwa dirinya  itu adalah tuhan sekutu Allah ta’ala. Dan sebagaimana orang yang  mengklaim bahwa dirinyalah yang menciptakan manusia dan bahwa tidak ada  yang menciptaka mereka kecuali dia, maka dia itu adalah telah mengklaim  sebagai tuhan tertinggi satu-satunya bagi manusia, maka begitu juga  orang yang mengklaim bahwa hanya dirinyalah yang berhak membuat hukum  dan tidak ada hukum yang harus dijadikan rujukan kecuali hukumnya, maka  dia itu berarti telah mengaku bahwa dirinya adalah tuhan tertinggi.
Untuk supaya lebih jelas masalahnya, maka perhatikan kandungan ayat-ayat ini:
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mereka menjadikan alim ulama dan  para pendetanya sebagai tuhan-tuhan selain Allah dan (juga mereka  mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka tidak  diperintahkan kecuali supaya mereka beribadah kepada Tuhan yang Esa,  tidak ada tuhan yang berhak diibadati kecuali Dia. Maha Suci Allah dari  apa yang mereka persekutukan.” (At Taubah: 31) 
Di dalam ayat ini Allah ta’ala telah memvonis orang-orang nasrani dengan banyak vonis, diantaranya:
- Mereka telah mempertuhankan alim ulama dan para pendeta mereka.
 - Mereka telah beribadah kepada alim ulama dan para pendeta itu.
 - Mereka melanggar laa ilaaha illallaah.
 - Mereka musyrik.
 - Dan alim itu memposisikan dirinya sebagai tuhan.
 
Apa gerangan kemusyrikan orang-orang  nasrani itu, dan bentuk peribadatannya, serta apa sebab alim ulama dan  pendeta itu disebut telah memposisikan dirinya sebagai arbab selain  Allah? Apakah karena sebab ruku dan sujud atau karena sebab lain?  Amatilah tafsir Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tentang ayat ini di  dalam hadits hasan yang diriwayatkan At Tirmidzi, bahwa ketika ayat ini  dibacakan oleh Raasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dihadapan ‘Adi  Ibnu Hatim (waktu itu seorang nasrani dan kemudian masuk Islam), dan  saat ‘Adi mendengar ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka dia  mengatakan: “Kami (orang-orang nasrani) tidak beribadah kepada mereka”  yaitu kami tidak pernah mempertuhankan mereka dan tidak pernah shalat  dan berdoa kepada mereka, jadi kenapa kami dianggap telah beribadah  kepada mereka, apa bentuk peribadatan kami kepada mereka itu, maka  Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjelaskan bentuk peribadatan  yang mereka lakukan kepada alim ulama dan pendeta itu dengan sabdanya:
أليسوا يحلون ما حرمه الله فتحلونه ويحرمون ما أحله الله فتحرمونه
“Bukankah mereka itu menghalalkan apa  yang Allah haramkan kemudian kalian menghalalkannya dan bukankah mereka  mengharamkan apa yang Allah halalkan kemudian kalian mengharamkannya?”
Maka ‘Adi menjawab: Ya benar.
Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berkata: “Maka itulah peribadatan kepada mereka”.
Jadi peribadatan disini adalah  penyandaran hukum kepada alim ulama dan pendeta dan penerimaan hukum  mereka itu sebagai rujukan dan sandaran, yang padahal hal itu adalah hak  khusus Allah ta’ala yang bila dipalingkan kepada selain-Nya maka itu  adalah syirik akbar dan bila diklaim oleh makhluk maka dia itu telah  melampaui batas dan mengaku tuhan. Al Imam Hamd Ibnu ‘Atiq mengatakan di  dalam Kitab Ibthalut Tandid hal 76:
أجمع العلماء علي أن من صرف شيئا من نوعي الدعاء لغير الله فقد أشرك ولو قال لا إله إلا الله وصلي وصام وزعم أنه مسلم
“Para ulama telah sepakat bahwa  barangsiapa memalingkan sesuatu dari ibadah itu kepada selain Allah,  maka dia telah musyrik walaupun mengucapkan laa ilaaha illallaah,  walaupun dia shalat dan shaum serta walaupun dia mengaku muslim.”
Sedangkan penyandaran hukum itu adalah  ibadah yang murni hak Allah ta’ala, dan bila disandarkan kepada selain  Allah ta’ala maka itu adalah syirik dan orang yang menjadikan hukum itu  sebagai rujukan maka dia itu orang musyrik walaupun hanya satu hukum  saja, sebagaimana yang Allah ta’ala jelaskan di dalam Al Qur’an perihal  bangkai:
وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَى أَوْلِيَآئِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kamu memakan  binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.  Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.  Sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar  membantah kamu, dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu  tentulah menjadi orang-orang yang musyrik. (Al An’am: 121) 
Ayat ini diantaranya berkaitan dengan  perdebatan antara Auliya Ar Rahman dengan Auliya Asy Syaithan (kafirin  Quraisy), dimana orang-orang kafir itu menghalalkan bangkai dan mendebat  kaum muslimin agar ikut menghalalkannya. Al Hakim meriwayatkan dengan  sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas Radliyallahu ‘anhuma berkata tentang  ucapan orang-orang kafir itu: “Apa yang disembelih oleh Allah (yaitu  bangkai) maka kalian tidak mau memakannya, sedangkan yang kalian  sembelih maka kalian memakannya,” maka Allah menurunkan “Sesungguhnya  syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah  kamu.”
Di sini hanya satu hukum saja yaitu  penghalalan bangkai, namun Allah memvonis orang yang menurutinya sebagai  orang musyrik, ”dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu  tentulah menjadi orang-orang yang musyrik,” sedangkan orang yang  menggulirkannya sebagai wali (teman) syaitan, “sesungguhnya  syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah  kanu.” dan hukum buatannya itu dicap sebagai wahyu dan bisikan syaitan.
Bila saja penyandaran hak pembuatan satu  hukum kepada selain Allah ta’ala adalah kemusyrikan dan menjadikan  hukum buatan tersebut sebagai rujukan di dalam putusan, dakwaan, fatwa  atau vonis adalah syirik akbar yang merupakan pembatal keislaman, maka  bagaimana halnya dengan pembuatan dan perujukan lebih dari satu hukum  buatan.
Dan bila saja pengklaiman kewenangan  pembuatan satu hukum itu merupakan pengklaim ketuhanan, maka bagaimana  halnya dengan pengklaiman bahwa dirinyalah dan lembaganyalah yang  berwenang membuat hukum, dan bahwa hukum apapun tidaklah menjadi hukum  yang sah lagi memiliki kekuatan undang-undang kecuali setelah disahkan  dan ditetapkan oleh dirinya dan lembaganya. Dan inilah ketuhanan yang  fir’aun maksudkan dengan ucapannya:
أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى
“Akulah tuhan kalian tertinggi”. (An Nazi’at: 24) 
dan ucapannya:
مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرِي
“Aku tidak mengetahui ada tuhan bagi kalian selain Aku.” (Al Qashash: 38) 
yaitu bahwa akulah satu-satunya yang berkuasa membuat hukum dan tidak ada hukum yang boleh kalian taati selain hukum aku.
Sedangkan peribadatan yang Fir’aun  inginkan dari rakyatnya bukanlah shalat dan doa kepadanya, akan tetapi  ketaatan dan loyalitas kepada hukum dan perintahnya.
Jadi inilah diantara kesalahan dan  tindak pidana yang didakwakan oleh Allah ta’ala kepada Fir’aun, dimana  dia telah merencanakan dan atau menggunakan orang lain untuk melakukan  tindak pidana penentangan terhadap Allah dan hukum-Nya, sedangkan  dakwaan yang dililitkan kepada para pejabat dan aparat keamanan Fir’aun  adalah karena mereka telah dengan sengaja memberikan bantuan dan  kemudahan terhadap Fir’aun di dalam melakukan tindak pidana penentangan  terhadap kekuasaan Allah. Dan mereka semua itu, yaitu Fir’aun, para  pejabatnya dan aparat keamanannya, telah dengan sengaja dan secara sadar  melakukan pemufakatan jahat, percobaan atau pembantuan untuk melakukan  tindak pidana penentangan terhadap hukum Allah ta’ala dan teror terhadap  orang-orang yang ingin menegakkan hukum Allah ta’ala dengan teror  pemenjaraan sebagaimana yang dimaksud di dalam surat Asy Syu’ara ayat  29:
لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهًا غَيْرِي لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ
“Andai kamu menjadikan tuhan selain aku, sungguh aku benar-benar akan memenjarakan kamu”. 
dan teror pembunuhan sebagaimana yang dimaksud di dalam surat Al Mu’min ayat 26:   
وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَى
“Dan Berkata Fir’aun (kepada para pembesarnya): “Biarkanlah Aku membunuh Musa.” 
dan teror penyiksaan sebagaimana yang dimaksud dengan ucapannya:
فَلَأُقَطِّعَنَّ أَيْدِيَكُمْ وَأَرْجُلَكُم مِّنْ خِلَافٍ وَلَأُصَلِّبَنَّكُمْ فِي جُذُوعِ النَّخْلِ
“Maka sungguh, akan kupotong tangan dan kakimu secara bersilang, dan sungguh, akan aku salib kamu pada pangkal pohon kurma” (Thaha: 71) 
dan Fir’aun-pun melakukan teror dengan  memerintahkan aparat keamanannya membunuhi kaum pria yang dikhawatirkan  membahayakan ideologi dan pemerintahannya serta membiarkan kaum  wanitanya terlantar tanpa pengayom:
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِي الْأَرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِّنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat  sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berkelompok-kelompok,  dia menindas segolongan dari mereka, dia menyembelih anak laki-laki  mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya dia  (Fir’aun) termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al Qashash: 4) 
Itulah dakwaan dan tuduhan yang dijeratkan kepada Fir’aun dan kaki tangannya.
Dan mari kita bandingkan realita Fir’aun itu dengan realita Pemerintah Republik Indonesia…..
Bukankah di negeri ini hak kewenangan  pembuatan hukum dan undang-undang itu bukan di Tangan Allah saja dan  tidak diserahkan kepada-Nya saja, akan tetapi diserahkan kepada banyak  sosok orang dan lembaga, yaitu diserahkan kepada MPR, DPR, DPRD dan  Presiden serta yang lainnya. Sebagai contoh lihat buktinya:
* Terdapat di dalam UUD 1945 Bab II  Pasal 3 ayat 1: “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan  menetapkan Undang-Undang Dasar.”
Ini artinya bahwa MPR adalah arbab  (tuhan-tuhan) pembuat hukum selain Allh ta’ala, dan orang-orang yang  duduk sebagai anggotanya adalah orang-orang yang mengaku sebagai tuhan  seperti Fir’aun.
* Di dalam UUD 1945 Bab VII Pasal 20  ayat 1 dinyatakan bahwa: “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan  membentuk undang-undang” padahal di dalam ajaran Allah ta’ala Penguasa  langit dan bumi bahwa yang memegang kekuasaan membuat hukum dan  undang-undang hanyalah Allah ta’ala:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ
“Sesungguhnya hak menentukan hukum hanyalah milik Allah.” (Yusuf: 40) 
Dan makna pasal 20 ayat 1 UUD 1945 adalah sama dengan ucapan Fir’aun:
أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى
“Akulah tuhan kalian tertinggi”. (An Nazi’at: 24) 
yaitu bahwa akulah yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang yang diberlakukan kepada kalian.
* Kemudian tercantum di dalam UUD 1945  Bab VII Pasal 21 ayat 1 pernyataan bahwa: “Anggota Dewan Perwakilan  Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang,” yang makna  syar’inya bahwa para anggota DPR itu diberikan hak ketuhanan oleh UUD  45.
* Juga di dalam UUD 1945 Bab III Pasal 5  ayat 1 dinyatakan bahwa: “Presiden berhak mengajukan rancangan  undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat,” maknanya bahwa Presiden  dan DPR sama-sama memiliki sifat ketuhanan yang diklaim oleh Fir’aun.
Bahkan masalahnya tidak terbatas pada  pelimpahan wewenang hukum kepada lembaga-lembaga Fir’aun semacam itu,  akan tetapi semua diikat dan dibatasi dengan kitab hukum tertinggi,  yaitu UUD yang merupakan buatan MPR (lembaga Fir’aunisme tertinggi),  dimana DPR boleh membuat hukum apa saja.
Tapi harus sesuai dengan UUD,  sebagaimana di dalam UUD 45 pasal 1 ayat 2: “Kedaulatan berada di tangan  rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Dan Presiden pun kekuasaannya dibatasi  UUD buatan arbab (tuhan-tuhan) yang duduk di MPR bukan dibatasi oleh  hukum Tuhan langit dan bumi, sebagaimana yang diatur di dalam UUD 45 Bab  III pasal 4 ayat 1 bahwa: “Presiden Republik Indonesia memegang  kekuasaan pemerintahan, menurut Undang-Undang Dasar.”
Jadi ternyata perbuatan penguasa dan  pemerintah negeri ini sama persis dengan perbuatan Fir’aun, dan begitu  juga tindakan aparat keamanan negeri ini sama dengan aparat keamanan  Fir’aun.
Bila Fir’aun mengancam setiap orang yang  membangkang kepada ketuhanannya dan menolak tunduk kepada hukumnya  dengan ancaman penjara:
لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهًا غَيْرِي لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِينَ
“Sungguh jika kamu menjadikan tuhan selain aku, pasti aku masukkan kamu ke dalam penjara”. (Asy Syu’ara: 29) 
Maka begitu juga pemerintah negeri  mengancam orang-orang yang membangkang kepada hukumnya dan ingin  menggantinya dengan hukum Islam dengan ancaman penjara, karena  penegakkan hukum Islam saja artinya adalah menolak ketuhanan Pancasila  dan ketuhanan para pembuat hukum di dalam sistim kafir demokrasi.
Bila Fir’aun telah menuduh Nabi Musa  ‘alaihissalam dan para pengikutnya yang mengajak manusia ke dalam ajaran  Allah ta’ala dan hukum-Nya dengan tuduhan sebagai perusak tatanan dan  ingin merubah ideologi negara sehingga pantas dibunuh dan diberantas,  sebagaimana ucapannya:
ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَى وَلْيَدْعُ رَبَّهُ إِنِّي أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَن يُظْهِرَ فِي الْأَرْضِ الْفَسَاد
“Biarkanlah aku membunuh Musa dan  suruh dia memohon kepada Rabbnya, sesungguhnya Aku khawatir dia akan  mengganti dien (ajaran/hukum/ideologi) kalian atau menimbulkan kerusakan  di  bumi”. (Al Mu’min: 26) 
dimana diantara makna dien adalah hukum dan undang-undang, sebagaimana firman-Nya:
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ
“Tidak mungkin dia (Yusuf) itu membawa saudaranya ke dalam undang-undang raja,” (Yusuf: 76) 
Maka begitu pemerintah negeri ini juga  telah menuduh para dai dan mujahid tauhid yang berjuang ingin menegakkan  kalimat Allah di negeri ini dengan dakwah tauhid yang suci dan dengan  jihad yang tulus, pemerintah menuduh mereka sebagai perusak tatanan dan  ingin merubah ideologi negara, yang harus segera ditumpas dan diberantas  serta diberikan landasan hukum yang kuat dan kepastian hukum dalam  mengatasi permasalahan yang mendesak dalam pemberantasan tindak pidana  tersebut dan para pelakunya.
Bila Fir’aun memerintahkan semua  aparatnya di semua daerah agar waspada terhadap gerakan dakwah Musa  ‘alaihissalam dan para pengikutnya yang berbahaya dan agar  menghati-hatikan masyarakat darinya, mengawasinya serta agar tidak  terpengaruh oleh kelompok kecil yang membawa pemahaman yang sesat,  ganjil, berbahaya dan meresahkan itu, sebagaimana yang Allah ta’ala  ceritakan:
فَأَرْسَلَ فِرْعَوْنُ فِي الْمَدَائِنِ حَاشِرِينَ، إِنَّ هَؤُلَاء لَشِرْذِمَةٌ قَلِيلُونَ، وَإِنَّهُمْ لَنَا لَغَائِظُونَ، وَإِنَّا لَجَمِيعٌ حَاذِرُونَ
“Kemudian Fir’aun mengirimkan  orang-orang ke kota-kota untuk mengumpulkan (bala tentaranya). (Fir’aun  berkata): “Sesungguhnya mereka (Bani Israil) hanya sekelompok kecil, Dan  Sesungguhnya mereka telah berbuat hal-hal yang menimbulkan amarah kita,  Dan Sesungguhnya kita semua tanpa kecuali harus selalu waspada”.” (Asy Syu’ara: 53-56) 
Maka begitu juga pemerintah negeri ini  melakukan hal yang sama, dimana mereka menuduh para pemuda yang  menginginkan kejayaan agama Islam dengan tauhid dan jihad sebagai kaum  yang sesat yang memaksakan kehendak yang perlu diwaspadai dan diawasi  gerakannya, sehingga perlu dibentuk detasemen khusus anti jihad untuk  menanganinya dan perlu dibuat Polisi masyarakat untuk mempersempit  gerakan dakwahnya dan pengajiannya serta perlu dibuatkan undang-undang  khusus untuk menjerat para pelaku dan para pendukungnya sehingga  muncullah undang-undang Republik Indonesia no 15 tahun 2003 tentang  Penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang no 1 tahun 2002  tentang pemberantasan tindak pidana jihad menjadi undang-undang.
Sungguh sangat serupa langkah-langkah pemerintah ini dengan langkah-langkah pemerintah Fir’aun.
أَتَوَاصَوْا بِهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
“Apakah mereka saling berpesan dengannya? (Tidak) namun mereka itu kaum yang melampaui batas.” (Adz Dzariyat: 53) 
تَشَابَهَتْ قُلُوبُهُمْ
“Sangat serupa hati mereka.” (Al Baqarah: 118) 
Bila tentu jelas hal ini, maka jelaslah  bahwa yang bersalah di dalam permasalahan pelatihan militer di Aceh itu  adalah Fir’aun-fir’aun negeri ini, para pembantu mereka dan aparat  keamanannya yang telah melakukan pemufakatan jahat, percobaan atau  pembantuan untuk melakukan tindak pidana penentangan terhadap kekuasaan  Allah ta’ala yang telah memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan  latihan militer di dalam Firman-Nya: 
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدْوَّ اللّهِ وَعَدُوَّكُمْ
“Dan persiapkanlah dengan segala  kemampuan untuk menghadapi mereka berupa kekuatan yang kamu miliki dan  pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah dan musuh kamu.” (Al Anfal: 60) 
Sedangkan diantara kekuatan yang wajib  dipersiapkan itu adalah memanah atau menembak, sebagaimana sabda Nabi  Shalallahu ‘alaihi wa Sallam :
أَلا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ
“Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah menembak, Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah menembak.” (HR Muslim) 
Sedangkan menembak itu adalah menggunakan panah, senjata api dan alat lainnya sesuai zaman dan perkembangan teknologi.
Sehingga wajib atas setiap laki-laki  muslim cakap menggunakannya dalam rangka i’dad dan jihad fi sabilillah.  Namun pemerintah Indonesia yang kafir ini justru melarang orang Islam  dari memiliki dan menggunakan senjata api, amunisi dan yang lainnya,  apalagi bila digunakan untuk ibadah jihad, sebagaimana yang dinyatakan  undang-undang anti jihad pasal 9 bahwa “Setiap orang yang secara melawan  hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh,  menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai  persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,  menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan atau dari  Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan  bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak  pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup  atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20  (dua puluh) tahun.”
Perhatikanlah pasal karet ini yang  menjerat semua pihak yang memiliki andil di dalam pengadaan senjata api,  amunisi dan bahan lainnya untuk tujuan jihad. Dan diantara bukti yang  menunjukkan bahwa tindak pidana terorisme yang dimaksud di dalam pasal  karet tadi adalah ibadah I’dad dan jihad adalah realita bahwa orang yang  merampok untuk menjarah harta orang lain dengan menggunakan senjata api  hanyalah dijerat pasal 365 KUHP bukan dengan UU anti terorisme yang  vonisnya sangat ringan yang membuat para perampok makin ketagihan.  Bahkan penggunaan senjata api, amunisi dan yang lainnya adalah hal yang  legal bahkan wajib kalau tujuannya untuk membela negara dan pemerintah  serta ideologi para penguasa yang kafir, maka dari itu tentara dan  polisi dipersenjatai. Sungguh jahat dan durjana para penganut hukum  kafir semacam ini, dimana senjata api dilarang penggunaannya dan bahkan  sekedar menyimpannya kalau tujuannya membela agama dan hukum Allah,  bahkan mengetahui informasi perihal keberadaannya pun dan terus tidak  melaporkannya adalah tidak lepas dari jeratan pidananya. Namun kalau  yang memakainya adalah aparat yang menegakkan hukum kafir dan yang  menjaga sistim negara yang kafir ini maka itu adalah hal yang sah.
Dan itu adalah makar musuh-musuh Allah  ta’ala agar mereka tetap kuat lagi bersenjata dan umat Islam ini tetap  lemah jauh dari kekuatan dan senjata supaya tetap mudah digiring dan  diatur dan dibinasakan bila menentang, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُم مَّيْلَةً وَاحِدَةً
“orang-orang kafir ingin agar kalian lengah terhadap senjata dan barang-barang kalian, lalu mereka menyerbu kalian sekaligus.” (An-Nisa: 102) 
Pemerintah Fir’aun negeri ini ingin  mematikan cahaya agama Allah ta’ala dengan berbagai cara, tapi mana  mungkin sinar matahari bisa dilenyapkan walaupun bisa saja sementara  waktu ditutupi awan di sebagian tempat.
يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُون
“Mereka hendak memadamkan cahaya  (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, tetapi Allah  menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun  orang-orang kafir itu tidak menyukai.”  (At Taubah: 32) 
Maka silahkan pemerintah ini melakukan  apa yang diinginkannya terhadap kami!…tapi ingatlah kita semua akan  mati, dan di hadapan Allah ta’ala kita semua akan mengetahui apakah  ideologi Pancasila yang sekarang ini dijunjung tinggi, UUD 1945 yang  selama ini dijadikan rujukan dan NKRI yang katanya harga mati itu bisa  menyelamatkan dari adzab Allah ta’ala atau justru malah membinasakan?
وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنقَلَبٍ يَنقَلِبُونَ
“Dan orang-orang dzalim itu akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali. (Asy Syu’ara: 227)
Sekarang karena rezim mirip Fir’aun yang  sedang berkuasa, maka segala tindakan jahat yang dilakukan aparatnya  bila dalam menjalankan hukumnya adalah sah-sah saja walaupun itu terror  atau penyiksaan yang mengerikan di tempat-tempat rahasia yang jauh dari  jangkauan media dan bahkan pembunuhan dengan cara aniaya dan begitu juga  perampasan harta benda…. Semua ini sah saja karena sudah sesuai hukum  …. Hukum apa? Ya hukum buatan Fir’aun-Fir’aun negeri ini … Intinya bahwa  kekuasaan dan kekuatanlah yang bisa menjadikan sesuatu itu sah atau  tidak….
Namun ketika datang suatu hari yang mana  kekuasaan dan kerajaan di hari itu hanya milik Allah ta’ala dan semua  rezim Fir’aun telah sirna dan menjadi hina, maka di situlah kita akan  berjumpa dan mengadakan persengketaan kita kepada Allah Yang Maha  Perkasa:
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عِندَ رَبِّكُمْ تَخْتَصِمُونَ
“Sesungguhnya kamu akan mati dan  sungguh mereka akan mati (pula), kemudian di hari kiamat sesungguhnya  kalian akan saling mengadakan persengketaan di sisi Rab kalian.” [Az Zumar: 30-31]
Ya kita akan bersengketa … kami di pihak  yang berusaha melaksanakan hukum Allah ta’ala yang di dunia ini dituduh  sebagai penjahat oleh rezim Fir’aun negeri ini, sedangkan pemerintah  ini dan aparat hukumnya berada di pihak yang bersikukuh menjalankan  hukum thaghut dan memaksakan hukum itu kepada umat manusia ….
Mari kita bersama-sama menunggu putusan dan vonis Penguasa alam semesta di akhirat kelak:
قُلْ كُلٌّ مُّتَرَبِّصٌ فَتَرَبَّصُوا فَسَتَعْلَمُونَ مَنْ أَصْحَابُ الصِّرَاطِ السَّوِيِّ وَمَنِ اهْتَدَى
“Katakanlah: Masing-masing (kita)  sedang menunggu, maka tunggulah oleh kalian! Dan kelak kalian akan  mengetahui siapa yang menempuh jalan yang lurus dan orang yang  mendapatkan petunjuk.” [Thaha: 135]
 Adapun di dalam  persidangan ini, maka silahkan diputuskan apa yang ingin diputuskan,  karena putusan yang akan diputuskan itu sudah tertulis di dalam Al Lauh  Al Mahfudh 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi, sehingga  tidak akan kami takutkan atau kami risaukan, namun yang harus khawatir  dan takut adalah pihak-pihak yang ikut andil di dalam mendhalimi kami  tanpa sebab dosa kecuali karena kami beriman kepada Allah ta’ala dan  taat kepada hukum-Nya, karena sesungguhnya kezaliman sekecil apapun akan  Allah ta’ala segerakan hukumannya di dunia di samping yang Allah  sediakan di akhirat. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
بابان معجّلان عقو بتهما فيالدنيا: البغي والعقوق
“Dua pintu yang disegerakan hukumannya di dunia: aniaya dan durhaka.” 
Juga sabdanya:
إن الله ليملي للظالم حتى إذا أخذه لم يفلته
“Sesungguhnya Allah benar-benar  mengulur (waktu) bagi orang dzalim, sehingga bila Dia menghukumnya maka  dia tidak bisa lolos dari-Nya.”
اللهم يا منزل الكتاب ويا مجري السحاب ويا هازم الأحزاب أعز الإسلام والمسلمين وأهلك الكفرة الظالمين ودمر أعداء الدين
وصلى الله على نبينا محمد واله وصحبه وسلم
والسلام على عباد الله المؤمنين
Aman Abdurrahman




 
 
 
2 Komentar:
Alhamdulillah skrang boleh comment. Akak gembira Razi dah sihat semula. Di Msia juga berkeadaan yg sama. Pemerintahan taghut dan Firaun yang terang2 menolak hukum hudud. Pilihanraya Umum ke 13 akan diadakan tahun hadapan. Doakan Parti SeIslam Msia (PAS) memperolehi undi majoriti di negeri2 yg majoritinya penduduk Islam (penduduk Msia 55% Muslim). setakat ini hanya Kelantan (Serambi Mekah Msia) dan Kedah sahaja di perintah oleh Ulamak.Doakan PAS berjaya menakluk beberapa negeri lain seperti Terengganu dan Perlis (Msia ada 13 negeri). Takbir !!
Alhamdulillah.Sedikit banyak razi juga mengikuti perkembangan politik M'sia walau buat masa ini agak berkurang.Kalau dulu mase Jadi PATI.he he .Razi ni Peminat Setia HARAKAH dan juga Pengagum Dato' Anwar Ibrahim.
Berjuang menegakkan syariat Islam menerusi Demokrasi(baca:Pilihan Raya).Seperti Tulisan Kakak "Setakat mana jayanya memilih pemimpin Islam melalui Kertas Undi".Jadi janganlah terlalu berharap.Dulu Kerajaan negeri Kelantan beriya-iya sangat ingin menerapkan hudud,nyata tidak berjaya juga kan ..karena campur tangan kerajaan Pusat.Memang ada sedikit manfaat itu pun kalau menang.itu pun hanya bisa menerapkan syariat sebahagian tidak keseluruhan(kaffah).Alhamdulillah sekarang Razi tidak lagi ikut pilihan raya(GOLPUT=Golongan Putih).Yang jelas Demokrasi berasal dari peradaban Barat(Tamaddun)yg di bawa penjajah untuk menghilangkan Cahaya Agama Allah.Secara tidak sadar banyak di antara menjadikan nya sebagai Idelogi.Ini sangat berbahaya.Nampak manis.indah padahal demokrasi adalah racun berbahaya menyerang akidah.Islam Tegak dengan Dakwah dan Jihad bukan dengan yang lain.
di Indonesia PKS yang di banggakan sekarang juga sudah berubah menjadi parti agama terbuka..siapa saja boleh jadi anggota Parti bahkan calon.Padahal mereka Kafir dan musyrik..mau di bawa kemana hala tuju parti.Dan itu dah menjadi kenyataan dalam 2 tahun belakangan ini..ini bukan fitnah..wallahu'alam