Lobi di Taman Haagsche Boch

Keumalahayati benar-benar menagih janjiku untuk bercerita lebih banyak padanya. Lusinan buku yang kuberikan tak cukup baginya untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di tanah moyangnya. Ia benar-benar cucuku yang sangat menyukai sejarah. Dan kali ini ia ingin mengetahui kebenaran sejarah bangsanya sendiri dari kakeknya sendiri.

Aku yang sudah terlanjur berjanji harus menepatinya. Namun, aku tak mau sepenggal-sepenggal. Aku ingin bercerita jauh sejak awal hingga akhir, sampai muncunya pengkhianatan yang meruntuhkan Aceh sebagai sebuah kerajaan.
Baiklah Keumalahayati, dengarlah cucuku, kali ini kuceritakan padamu tentang upaya Belanda untuk masuk ke Aceh. Sudah lama Belanda ingin memperluas kekuasaannya di nusantara. Sebelum Belanda menjajah nusantara, jauh-jauh hari kerajaan Aceh sudah menjalin kerja sama dengan Inggris. Dan satu-satunya cara bagi Belanda untuk masuk ke Aceh adalah mempengaruhi Inggris untuk membatalkan perjanjiannya dengan Aceh.

Bayangkan cucuku, bagaimana liciknya Belanda memainkan diplomasinya. Sesama bangsa Eropa mereka berebut dan berupaya mempermainkan kedaulatan Aceh. Perjanjian bilateral antara Kerjaaan Aceh dengan Inggris dengan sepihak ingin diputuskan oleh Inggris. Letak negeri kita yang strategis di pintu Selat Malaka membuat banyak negara ingin menguasainya. Aceh pintu masuk ke nusantara, pintu jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat diminati oleh bangsa Eropa. Karena itu pula mereka ingin menaklukkan Aceh.

Belanda melalui maskapai dagangnya di nusantara, perserikatan perusahaan Hindia Timur (Vereenigde Oostindische Compagnie)  alias VOC sangat bernafsu untuk mengusai jalur dagang di Selat Malaka. Dan melobi Inggris merupakan satu-satunya cara bagi Belanda untuk menundukkan Aceh yang dinilai keras kepala dan tak mau tunduk pada Belanda.

Belanda itu bangsa penakluk cucuku. Melalui VOC mereka ingin menguasai seluruh daerah penghasil rempah di nusantara. Tapi Aceh bukanlah Jawa yang mau dengan serta merta ditaklukkan Beanda dengan politik dagangnya. Aceh tetaplah Aceh sebagai sebuah kerajaan berdaulat yang mempunyai maskapai perdagangan sendiri, yang bisa sesuka hati menjulah hasil alamnya kepada siapapun, kepada pedagang dari negara manapun yang berlabuh di pelabuhan Aceh.


Belanda tak ingin membiarkan itu terus terjadi. Mereka benar-benar ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah di nusantara untuk dibawanya ke pasar Eropa. Kalau Aceh tetap menjual ke pihak lain, maka itu alamat ancaman bagi monopoli VOC. Menghadapi kerajaan Aceh benar-benar membuat Belanda harus berpikir ekstra. Belum pernah mereka menemukan sikap penentangan di nusantara sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kerajaan Aceh. Kali ini mereka menghadapi sebuah bangsa yang berdiri teguh dengan prinsipnya. Bangsa yang tak mudah dirayu dengan iming-iming kerja sama.

Dan satu-satunya cara bagi Belanda adalah dengan peperangan. Mereka ingin menggelorakan perang di Aceh, tapi endatu kita orang Aceh juga sudah siap dengan semangat yang tak kalah hebat untuk menyambut “tamunya” itu dengan meriam dan mocong senapan. Rakyat Aceh telah mengasan pedang, siwah dan menyiapkan rencong untuk di tusukkan ke dada penjajah itu.

Cucuku, VOC itu merupakan badan dagang istimewa yang diberikan hak-hak istimewa oleh pemerintah Belanda. Mereka diberikan hak untuk berdagang dan berlayar, serta menguasai perdagangan untuk kepentingan sendiri. Mereka juga diberikan hak kedaulatan yang dapat bertindak layaknya sebuah negara yang dikenal dengan sebutan soevereiniteit. Dengan hak istimewa itu mereka ingin bertindak sesuka mereka terhadap Aceh. Namun yang mereka hadapi kali ini bukanlah sembarang kerajaan. Hak istimewa mereka hanya berlaku di negaranya saja. Aceh tidak menerima itu. Tak boleh ada sejengkal pun tanah Aceh untuk koloni Belanda.

Ya… cucuku, VOC itu penjajah. Mereka diberi hak untuk membentuk angkatan perang, memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian dengan suatu negara atau kerajaan, merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Belanda. Mereka juga diberi hak istimewa memerintah daerah-daerah tertentu, mengeluarkan mata uang sendiri, serta menarik pajak dari daerah taklukannya. Jawa sudah dua ratus tahun lebih mengalami hal itu cucuku. Jawa diperas dan ditindas oleh Belanda. Hanya Aceh yang tak mampu mereka jajah selama 200 tahun lebih dominasi mereka di Pulau Jawa dan sekitarnya.

Jadi cucuku, sangat wajar ketika endatu kita Bangsa Aceh menolak takluk pada Belanda itu. Bangsa kita Aceh menyebut Belanda sebagai Holanda dan VOC-nya itu sebagai kompeni. Kita Bangsa Aceh sudah tahu bagaimana seluk beluk dan tindakan Belanda di Jawa yang sudah lama dijajahnya. Mereka datang awalnya sebagai pedagang, kemudian mendirikan pemukiman sebagai upaya kolonialisasi untuk kemudian menjajah bangsa tempat ia membangun koloni itu sendiri. Aceh tidak mau itu terjadi. Aceh harus diwariskan kepada cucunya sebagai sebuah bangsa yang beradab, yang masih bisa berjalan dengan kepala tegak ketika daerah-daerah lain di Jawa sudah menunduk menyembah Belanda sebagai tuan besarnya. Kita orang Aceh pantang melakukan hal itu.

Cucuku, Aceh sebagai sebuah kerajaan berhak menjalin kerja sama dengan siapa pun, juga berhak menolak kerja sama dengan siapapun. Aceh punya prinsip dan harga diri ketika daerah-daerah lain di nusantara terutama Jawa sudah menggadaikan harga dirinya di ketiak Belanda.

***

Cucuku, Belanda yang saat itu mulai kesulitan membiayai perang dan usaha perluasan kekuasaannya di nusantara, sangat ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah di nusantara untuk menambahkan pundi-pundinya. Dan Aceh adalah batu ganjalan yang harus ditaklukkan oleh mereka. Ya, Aceh bantu ganjalan. Aceh dianggap keras kepala karena tidak mau bekerja sama dengan Belanda ketika daerah lainnya di nusantara sudah sujud dan menyembah mereka.

Aceh tetaplah Aceh yang teguh pada prinsipnya untuk mempertahankan kedaulatannya sebagai sebuah bangsa. Dan Aceh akan melawan setiap usaha yang ditujukan untuk merongrong kedaulatannya. Tahukan kamu mengapa bangsa kita begitu keras cucuku? Karena watak bangsa kita tidak mudah pecah, sesuai dengan namanya “a” yang bermakna tidak dan “ceh” pecah. Aceh itu tidak mudah pecah wataknya. Makin ditekan ia akan semakin keras. Dan Belanda akan menghadapi hal ini.

Kamu tentu juga pernah mendengar ungkapan kita orang Aceh, daripada crah bah beukah, daripada meutunggeng bah keuh ro. Itu wataknya kita orang Aceh yang tak mau main-main, dari pada retak lebih baik pecah, dari pada miring lebih baik tumpah isinya. Bangsa kita tidak mau main-main, tidak ingin setengah-setengah dalam bertindak. Dari pada takluk pada keinginan Belanda, lebih mati di medan perang.

Aceh satu-satunya daerah yang belum mampu ditaklukkan Belanda waktu itu. Tahukah kamu mengapa? Karena Aceh berlindung di balik perjanjian dengan Inggris melalui Traktat London sejak tahun 1819. Dalam perjanjian itu, Inggris menyatakan menghormati kemerdekaan Aceh dan melindungi pelayaran di Selat Malaka. Karena itu pula Aceh berlindung di balik perjanjian tersebut.

Namun Belanda tak berhenti untuk mengupayakan penaklukannya ke Aceh. Mereka ingin agar Inggris membatalkan perjanjiannya dengan Aceh. Usaha ini dilakukan melalui diplomasi oleh Menteri Jajahan Belanda, De Waal pada 1869. Kala itu De Waal berjalan di taman Haagshe Boch di Belanda bersama Duta Besar Inggris, Harris. Ia meminta kepada Inggris melalui Harris agar membatalkan perjanjiannya dengan Aceh.

Ini sebuah petaka bagi Aceh cucuku. Sebuah lobi di taman kota itu membuat Inggris benar-benar merestui Belanda menginvansi Aceh. Harris menjawab permintaan De Waal itu pada 9 Desember 1869, yang mengatakan bahwa penaklukan Aceh oleh Belanda akan disetujui bila mendatangkan keuntungan bagi perniagaan Inggris di Selat Malaka.

Bangsa-bangsa Eropa memang sangat tertarik pada perdagangan rempah-rempah di nusantara. Selama abad ke-16 Portugis memonopolinya yang melakukan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan dagang di Jerman, Spanyol dan Italia. Namun Portugis tidak mampu memenuhi tingginya kebutuhan dan permintaan rempah-rempah dari negara-negara di Eropa. Karena itu pula cucuku, Belanda mendirikan VOC.

Usaha Belanda itu untuk masuk ke Aceh semakin mulus, setelah secara resmi pada 2 November 1872, Inggris memberi kekuasaan kepada Belanda untuk berkuasa di Sumatera. Dan Inggris menyatakan tidak akan ikut campur dengan urusan Sumatera, maka sejak itulah traktar London tidak punya arti apa-apa lagi bagi Aceh.

Inilah awal pertama terbukanya pintu bagi Belanda untuk memerangi Aceh. dukungan Inggris itu sangat penting bagi Belanda. Jika sekarang kita bertanya siapa sebenarnya yang pertama kali harus bertanggungjawab terhadap perang Aceh, maka jawaban saya cucuku adalah Inggris yang tak menghormati dan mengingkari perjanjiannya dengan Aceh.

Setelah mendapat dukungan Inggris, Belanda juga melancarkan propagandanya melalui media massa. Tapi cucuku, lebih banyak media di Belanda waktu itu menentang upaya perluasan kekuasaan Belanda ke Aceh dengan cara peperangan. Mereka mengkritik cara-cara Belanda yang tidak beradap. Untuk menghadapi kecaman dari dalam seperti itu, Belada memanfaatkan media massa untuk membantah dan menyampaikan propagandanya, agar upayanya masuk ke Aceh disetujui.

Cucuku Keumalahayati, kalau kamu nanti kembali ke Belanda kamu bisa melihat hal itu di koran harian Algemeen Dagblad van Nederland Indie  dan De Gids Itu koran diasuh oleh C Busken Huet waktu itu. Sebagai redaktur kepala koran tersebut Busket Huet melalui provokasinya mengatakan Aceh harus dikuasai untuk kepentingan ekonomi Belanda.

Busket Huet yang pro pada penaklukan itu kemudian di kirim ke Batavia pada 1866 setelah mengalami kesulitan dengan korannya. Ia jurnalis yang mengkhianati profesinya sendiri, yang menyetujui pemberangusan kebebasan media. Ia memberi keyakinan kepada pemerintah Hindia Belanda di Batavia bahwa di daerah jajahan tidak perlu sama sekali kebebasan pers.

Begitu liciknya si Busket Huet itu, hingga ia mengkhianati profesinya sendiri hanya untuk kepentingan ingin dekat dengan kekuasaan. Setidaknya ia ingin menjadi bagian dari pemerintahan Hindia Belanda. Ia mengejar jabatan paling kecil sebagai staff penerangan. Cucuku, upaya si Busket Huet itu memang berhasil. Ia mampu meyakinkan Menteri Jajahan Belanda JJ Hanselman yang menjabat antara 1867 sampai 1868 menggantikan pendahulunya, De Waal.

Inilah propaganda pertama yang dilakukan mereka untuk masuk ke Aceh. Mereka membungkam media agar tidak menyorotnya. Saat itu ada tiga koran terbit dua minggu sekali di Batavia. Koran-koran dwimingguan itu diberangusnya. Sementara mereka sendiri terus melancarkan propagandanya terhadap Aceh melalui koran yang pro mereka.

Di Belanda memang koran tak bisa dibungkam karena kekuatan yang seimbang antara kaum liberal dan konservatif di parlemen, tapi di Batavia koran harus dinetralkan sesuai dengan tujuan pendudukan Belanda. Begitu seriusnya Belanda waktu itu untuk menduduki tanah Aceh, Sampai-sampai mantan Gubernur Jenderal Rocchussen Hasselman menunjuk Busket Huet untuk menjadi redaktur koran Java Bode di Batavia. Maka sahlah media dibola-bolai demi kepentingan Belanda yang sedang mempersiapkan invansinya ke Aceh.

Lihatlah cucuku, begitu berharganya Aceh. Begitu pentingnya Aceh bagi Belanda hingga sampai media massa diatur dan diarahkan. Intinya cucuku, Belanda ingin membangun wacana melalui media bahwa penaklukan terhadap Aceh itu penting dilakukan untuk kepentingan ekonomi Belanda. Tulisan pertama Busket Huet di Java Bode  yang berjudul Wenschen entegenstrijdigheden antara keinginan dan pertentangan, jelas-jelas memperlihatkan hal itu.

Cucuku, jika kau tanya apakah tidak ada yang menentang upaya mereka itu? Sesungguhnya ada, malah dari bangsanya sendiri. Kamu tentu pernah mendengar nama Paul Van T Veer yang menilai sikap Busket Huet itu sebagai pandangan aneh seorang wartawan. Ya.., memang aneh, dia yang seorang redaktur media, seharusnya memperjuangkan kebebasan media dalam menyampaikan pemberitaan. Bukan sebaliknya, membungkam media yang menyorot kepicikan Belanda yang ingin menginvansi Aceh.

Paul Van T Veer mengupas habis kiprah si Busket Huet itu. Katanya, Busket Huet hanyalah orang yang gagal secara ekonomi setelah bermasalah dengan korannya De Gids, ia ingin memperoleh ketajiran dari kedekatannya dengan kekuasaan. Tulisan Busket Huet di De Gids  pada tahun 1865 yang berjudul Ean avond aan het hof (Semalam di Istana) dikupas habis oleh Paul Van T Veer.

Namun tak banyak orang seperti Paul Van T Veer yang mau membela Aceh dari rongrongan Belanda. Ia pula yang mengungkapkan bahwa Busket Huet itu orang yang disusupkan untuk kepentingan penaklukan Belanda. Cucuku, ini politik tingkat tinggi yang dimainkan Belanda waktu itu. Paul Van T Veer tahu hal itu dan mengungkapkannya di kemudian hari. Ia membocorkan batuan keuangan yang diperoleh Busket Huet dari Belanda ke Batavia. Ia juga membongkar rahasia pemerintah konservatif Belanda yang secara terang-terangan ditentang dan digagalkan oleh kelompok liberal di parlemen Belanda.

Cucuku, kamu harus tahu hal ini. Hal yang terlupakan banyak orang. Si Busket Huet itu sikap politiknya jelas-jelas sangat mendukung penaklukan Aceh. Sikap dukungannya dituangkan dalam tulisan-tulisannya seperti Het Land van Rembrandt (negeri Rembrad) dan Het land van Rubens (negeri Rubens). Nanti kalau kamu pulang ke Belanda, coba kamu cari kliping surat kabar itu di badan arsip nasional Belanda, aku ingin kamu mengirimkannya untukku sebagai bukti sejarah cucuku.

Oya…cucuku, ada lagi orang yang menentang rencana penaklukan Aceh oleh Belanda itu,  dialah Multatuli. Pada Oktober 1872, demi melihat nasib Aceh yang akan dihantam oleh Belanda itu, ia berkeras hati mengirim surat kepada raja Belanda. Itulah dia orang yang memahami Aceh cucuku. Dalam surat Brief aan Koning, ia menulis banyak hal untuk membantu Aceh.

Jika kau Keumalahayati cucuku ingin membaca isi dari surat Multatuli itu, baiklah akan kucari dalam laman-laman buku ini untukmu. Ini lihatlah, bacalahlah apa yang ditulisnya itu kepada Raja Belanda; “Tuanku, Gubernur Jenderal tuanku dengan dalih yang dicari-cari, sekurang-kurangnya dengan alasan-alasan provokasi yang dibuat-buat, kini hendak memaklumkan perang kepada Sultan Aceh dengan maksud hendak merampas kedaulatan tanah pusakanya. Tuanku, perbuatan ini bukan saja tidak tahu berterima kasih, tidak satria ataupun tidak jujur, melainkan juga tidak bijaksana.”

Bayangkan Keumalahayati, cucuku, bagaimana beraninya si Multatuli berbicara seperti itu dalam suratnya kepada rajanya. Ia bermaksud membela Aceh di hadapan rajanya. Ia benar-benar orang yang mengerti tentang Aceh dengan seluk beluk diplomasinya. Aceh di matanya sama seperti Belanda sebagai sebuah kerajaan yang memiliki perjanjian-perjanjian internasional yang mengikat, yang kedaulatannya diakui sebagai salah satu yang disegani. Cucuku, keberanian Multatuli bukan hanya sebatas itu. Ia dengan lantang menyatakan peran agen provokator yang ingin menaklukkan Aceh itu dimainkan oleh Sir Max Haveelaar yang saat itu berkuasa di Bogor.

Namun, Aceh tak gentar dengan upaya Belanda itu. Aceh, endatu kita cucuku, masih punya harga diri dan semangat untuk melawan dan menampar keponggahan Belanda itu dengan semangat jihatnya yang lila meulila seperti baja membara. Saudara-saudara kita di Semenanjung Melayu juga mendukung kita. Mereka membalas propaganda-propaganda yang disampaikan surat kabar pro Belanda itu.

Jadi cucuku, sebelum perang Aceh dengan Belanda meletus di Pante Ceureumen, Ulee Lheu, pada Maret 1873, sebenarnya sudah jauh-jauh hari perang itu meletus di media. Isu Aceh menjadi editorial media-media baik di Belanda, Batavia, maupun di Semenanjung Melayu. Tapi sayangnya hanya sedikit media yang pro pada Aceh, seperti Penang Gazette.

Kamu bisa baca cucuku, pada 10 November 1871 Penang Gazette menulis. “Semakin cepat suatu kekuasaan Eropa mengintervensi Aceh, semakin cepat pula daerah-daerah yang terkenal subur untuk tanaman timur berkembang dan jaya lagi dari keruntuhannya.”

Dan apa yang ditulis Penang Gazette  itu benar adanya cucuku. Bangsa kita semakin kuat menentang Belanda dengan semangat jihat di jalan agama. Kamu tentu sudah membaca banyak cerita di balik perang Aceh itu cucuku. Kamu juga tentu tahu bagaimana seorang Jenderal Belanda, J H R Kohler tewas di mocong senapan pejuang Aceh, ketika mereka pertama kali melancarkan perang dengan Aceh.

Tentang hal itu akan kuceritakan nanti padamu. Sekarang istirahatlah, karena besok aku akan membawamu pada bukti-bukti kebesaran Aceh yang runtuh akhibat khianat yang laknat dari orang-orang dungu yang mampu dibeli oleh Belanda, baik Belanda kulit putih, maupun Belanda kulit hitam, yaitu bangsa Jawa yang menjadi serdadu-serdadunya Belanda di Aceh.


Dikutip Dari :
http://iskandarnorman.blogspot.com

0 Komentar:

Post a Comment

Tinggalkan Komen Anda disini!Terima kasih

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...