Ilmu Rasm dan Dhabth Al-quran

USAHA menjaga kemurnian penulisan huruf-huruf Alquran telah dilakukan sejak pertama kali Alquran diturunkan. Setiap kali wahyu turun, Rasullah memanggil para penulis wahyu untuk segera menuliskannya di atas tempat yang memungkinkan, batu, pelepah kurma, tulang dsb. Keadaan ini berlanjut sampai wahyu selesai diturunkan dan Rasulullah SAW wafat pada tahun 12 H/654 M.


Di masa pemerintahan para khalifah, Abu Bakar, Umar, dan Usman, usaha ke arah itu lebih ditingkatkan lagi dengan mengumpulkan tulisan Alquran yang terserak, yang ditulis pada masa Rasulullah dan disalin kembali oleh Zaid ibn Tsabit, seorang di antara penulis wahyu, dalam lembaran-lembaran yang kemudian disatukan dalam sebuah ikatan yang disebut dengan “Mushhaf Abu Bakar” atas persetujuan para sahabat Rasulullah.

Mushhaf inilah yang kemudian disalin kembali di masa Khalifah Usman dan diperbanyak menjadi enam eksemplar dan dikirim ke wilayah-wilayah dalam kekuasaan Islam seperti Kufah, Basrah, Syam, Mekkah, Madinah dan sebuah pertinggal di tangan Usman. Inilah yang disebut Mushhaf Usmani yang menjadi pedoman bagi bacaan dan dibutuhkan, karena wilayah kekuasaan Islam yang semakin luas, tidak lagi hanya di wilayah yang didiami oleh orang-orang yang berbahasa Arab, tetapi juga bangsa-bangsa lain yang memiliki bahasa dan dialek yang berbeda-beda.
Karena itulah pengiriman Mushhaf Usmani ke berbagai wilayah disertai dengan para qari yang mengajarkannya agar tidak terjadi penyimpangan dalam bacaan dan penulisannya. Alquran atau Mushhaf Usmani yang dikirimkan itu dalam bentuk huruf yang tidak bertitik dan tidak berbaris, di samping banyak bentuk-bentuk huruf yang sama, seperti “ba”, “ta”, “tsa” dan sebagainya, yang dalam masa-masa selanjutnya menimbulkan kesulitan ketika membacanya.

Memberi tanda baca
Dari itulah, ketika masalah ini sampai ke telinga penguasa di awal Dinasti Bani Umayyah (661 M-750 M), Gubernur Bashrah segera memanggil seorang sahabat ahli nahwu, murid Ali ibn Abi Thalib yang bernama Abu al-Aswad al-Duwali yang kemudian berinisiatif memberi tanda baca (al-dhabth) berupa titik pada akhir huruf setiap kosa kata.

Titik di atas menunjukkan baris atas yang berbunyi “a”, titik di bawah huruf berbunyi “i” dan titik di depan huruf berbunyi “u”. Usaha yang ditempuh al-Duwali ini dilanjutkan oleh ulama yang kemudian, Nashir ibn `Ashim dan Yahya ibn Ma’mur, dengan memberikan tanda baca titik pada huruf-huruf yang serupa bentuknya. Misalnya titik satu di atas pada huruf “ba”, titik dua di atas pada huruf “ta”, titik tiga di atas pada huruf “tsa” dan seterusnya.

Usaha penulisan dan tanda baca Alquran ini mencapai kesempurnaannya pada masa Dinasti Abbasiyah (750-1258 M) dengan tampilnya seorang ulama Imam mazhab ilmu nahwu yang bernama Khalil ibn Ahmad al-Farahidi (w. 170 H), dengan mengganti tanda titik di atas yang dibubuhkan oleh al-Duwali dengan alif yang dilintangkan di atas huruf, titik di depan diganti dengan “waw” kecil dan seterusnya, sehingga sempurnalah pemberian tanda baca Mushhaf Usmani seperti yang ada pada kita sekarang ini.

Untuk menjaga dan melestarikan bentuk-bentuk huruf Alquran, murid-murid para qari yang mengajarkan Mushhaf Usmani (Alquran) di daerah-daerah mencatat setiap bentuk huruf Alquran yang diajarkan pada mereka. Catatan-catatan ini kemudian dikumpulkan dan dijadikan dasar periwayatan dalam penulisan buku yang berjudul Al-Muqni’ fi Ma’rifat Marsumi Mashahif Ahl al-Amshar yang ditulis oleh seorang ulama yang bernama Abu Amrin al-Dani (w. 444 H).

Buku ini berisi tuntunan (pedoman) dalam penulisan huruf-huruf Alquran yang ditulis berdasarkan catatan-catatan periwayatan dan hasil penelitian Abu Amrin al-Dani sendiri yang dilakukannya di beberapa kota, pusat pengkajian Alquran sejak masa awal.

Untuk pedoman pemberian tanda baca Alquran, seorang murid Abu Amrin yang bernama Abu Daud Sulaiman al-Najah (w. 496 H) menulis buku Ushul al-Dhabth yang berisi pedoman pemberian tanda baca Alquran yang ditulisnya bukan hanya berdasarkan riwayat, tetapi juga berdasarkan penelitian seperti yang dilakukan oleh gurunya al-Dani.

Usaha-usaha yang mereka tempuh kemudian dilanjutkan oleh beberapa ulama yang datang kemudian, sehingga Ilmu Rasm dan Dhabth Alquran berdiri sebagai sebuah bidang ilmu yang tersendiri pada abad pertama Hijriyah.

Ilmu ini kemudian berkembang di antara para murid sahabat, tabi’in,dan para imam mujtahidin. Dikatakan, tidak seorang pun di antara mereka yang mengubah tulisan rasm Usmani tersebut dengan tulisan lainnya. Keadaan ini terus berlanjut sampai dunia Islam mengalami kemunduran sekitar pertengahan abad ke 13 M.

Belum terlacak sepenuhnya apakah ilmu ini mulai terlupakan sejak abad abad itu, atau sesudahnya. Yang pasti, seperti kata pengarang  kitab Iqazh al-A’lam, ilmu ini (Ilmu Rasm Alquran dan Ilmu Dhabth Alquran) termasuk ilmu yang terlupakan (Muhammad Habibullah, 72:12) dan lebih kurang abad 16 Masehi mulai timbul penyalinan Alquran dan selanjutnya percetakan Alquran.

Tidak dikenal
Di Indonesia ilmu ini hampir-hampir tidak dikenal. Belum ditemukan ulama yang mengembangkan ilmu ini di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Karena itulah ilmu ini hampir-hampir tidak dikenal di negeri ini. Penulisan Alquran di Indonesia tidak sepenuhnya berpedoman kepada ilmu ini.

Penyalinan Alquran dari masa ke masa mengakibatkan banyak terdapat penulisan yang tidak sesuai dan menyimpang dari rasm Usmani, pada hal mengikuti tulisan rasm Usmani “wajib” hukumnya menurut mayoritas ulama (jumhur ulama), dan tidak dibolehkan menulisnya dengan yang selainnya (Muhammad Habibullah, 1972:12), (`Ali Isma’l al-Sayyid Handawi, 1410 H:22), (Ahmad Muhammad Abu Zaituhar, 1970:7) dan lain-lain.

Dari itu dihimbau kepada semua pihak, pribadi maupun lembaga pemerintahan dan sebagainya, yang berkeinginan menulis, mencetak, memperbanyak Alquran, alangkah baiknya jika berpedoman atau merujuk kepada dua ilmu yang sangat penting ini, yaitu Ilmu Rasm Alquran dan Ilmu Dhabth Alquran.

Ilmu Rasm Alquran adalah ilmu yang membicarakan tentang tata cara penulisan al-Quran yang benar, sesuai dengan tulisan Mushhaf Usmani yang ditulis oleh para sahabat Rasulullah. Sedangkan Ilmu Dhabth Alquran adalah ilmu yang membicarakan tentang pemberian tanda baca Alquran, seperti meletakkan titik, baris dsb.

Dengan berpedoman kepada keduanya penulisan Mushhaf Alquran yang dihasilkan akan lebih ilmiah, dan lebih dapat  dipertanggungjawabkan kebenarannya di negeri mana pun dan sampai kapan pun. Wallahu a’lam.

Oleh Hisyami Yazid
Penulis adalah Dosen Jurusan Tafsir/Hadis, Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
sumber ;

0 Komentar:

Post a Comment

Tinggalkan Komen Anda disini!Terima kasih

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...